Di Bawah Hujannya Malam, di Depan Jajaran Toko

Sepasang kaki dengan balutan rok plisket abu-abu itu berlari cepat menuju jajaran toko yang tutup di seberang jalan. Sebuah totebag kuning yang digenggam di tangan kanannya itu berusaha menghalau derasnya air hujan yang ingin mengenai kepalanya. Dengan hati-hati, gadis itu menyebrang jalan yang tampak lengang karena menepinya kendaraan akibat hujan mulai turun.

“Yaampun, bakalan telat lagi deh nyampe rumah.” Gadis itu mengeluh saat matanya tertuju pada jam tangan berwarna silver pemeberian bunda nya, yang menunjukkan pukul tujuh malam. Kalau saja hujan tidak turun sehingga membuatnya terpaksa berteduh karena tidak membawa payung, mungkin ia akan tiba di rumah sekitar dua puluh menit lagi.

“Ternyata lo gak berubah ya dari yang pertama kali gue kenal, gak suka hujan, tapi gak mau juga bawa payung.” Suara itu terdengar begitu jelas dari sisi kiri gadis itu, sangat jelas walaupun suara hujan semakin besar terdengar.

Entah apa yang membuat gadis itu langsung menoleh begitu saja tanpa berusaha berpikir tindakan apa yang harus ia ambil saat suara itu menggema. Jelas, gadis itu begitu akrab dengan suara yang tiba-tiba itu. Suara yang bertahun-tahun sebelumnya selalu meramaikan waktu malamnya lewat sebuah jaringan komunikasi, entah hanya untuk menenangkannya yang sering takut untuk tidur di tengah malam atau merespon segala cerita-cerita tidak pentingnya. Juga, suara yang sama yang selama ini berusaha ia lupakan.

Kedua pasang mata yang selama ini tidak lagi dipertemukan walau hanya untuk menatap sebentar, kini kembali bertemu. Sepasang mata lelaki itu ternyata tidak berubah dari sepasang mata yang ia temukan dulu, walau terlihat mata itu menunjukkan kelelahan yang jelas.

“Kok diem aja? Kaget ya? Gue juga kok, tapi gue ngerti kalau lo lebih kaget.” Dengan tenang dan diikuti dengan senyuman di raut wajahnya, lelaki itu berjalan mendekat, menjauhi tetes hujan yang sebelumnya membasahi tubuh jangkungnya.

Rasanya tidak bijak jika ia mengabaikan ucapan seseorang yang sudah tidak ia temui dua tahun lamanya, ia harus menghargai keberanian lelaki itu untuk menyapanya terlebih dulu.

“Ehiya, hai, jelas gue kaget lah, menurut lo aja gimana.” Gadis itu berusaha bersikap senormal mungkin walaupun tetap saja dari nada bicaranya terkesan ia mengada-ada.

Bukannya merespon, lelaki itu justru tersenyum terlebih dulu mendengarnya. “Gue seneng lu masih bisa galak, dari situ gue tau lu emang gak pernah berubah dan akan selalu jadi Nana yang gue kenal walaupun sekarang gue yakin lo udah semakin dewasa dan tentu, semakin cantik.”

Kalau saja Nana tidak buru-buru menguasai dirinya, ia pasti sontak langsung menaikkan bahunya, geli mendengar kata-kata itu. “Lu juga gak berubah, masih aja suka ngalusin cewek.”

“Gak usah sok tau, lu yang pertama setelah dua tahun terakhir ini.” Lelaki itu menepis tuduhan yang Nana lontarkan dengan tenang dan kini tatapan lelaki itu beralih menatap perempatan jalan yang lengang.

Kemudian, tidak ada percakapan untuk beberapa detik sebelum akhirnya lelaki itu kembali menoleh dan melanjutkan, “Gue minta maaf ya Na kalau dua tahun ini gue ngilang dan gak berusaha memperbaiki hubungan gue sama lu, gue minta maaf kalau gue bikin lu selalu pengen tidur dan ngerasa gak mau bangun lagi karena stress sama apa yang gue lakuin, karena lu kecewa sama gue, karna gue bikin keadaan lu makin parah di saat lu lagi down-downnya sama perkuliahan lu, yang harusnya gue bisa ada dan bantu lu buat bangkit, gue malah bikin lu makin parah.”

Sepasang mata coklat itu menatap Nana dengan serius, tanpa kedipan sekalipun. “Gue tau susah buat lu percaya lagi sama gue, tapi gue serius sama apa yang gue bilang tadi, gue juga kecewa sama diri gue sendiri, saking kecewanya gue gak mau ngusik lu lagi makanya gue memilih buat ngilang dari lu.”

Sebelum sepasang mata itu mengalihkan pandangannya darinya, Nana sudah lebih dulu beralih, kini menatap sepasang sepatu putihnya yang basah oleh hujan. “Tapi sekarang semesta, di luar dugaan kita, entah karena apa, mempertemukan kita lagi, dan gue gak tau harus seneng atau sedih.”

“Kenapa harus bingung?”

“Gue bingung apa gue harus seneng karena ternyata jawaban dari tanda tanya tentang lu selama ini muncul atau gue harus sedih karena luka yang selama ini udah berusaha gue tutup rapat-rapat harus dibuka paksa, dan gue gak ngerti maksudnya kenapa gue sama lu harus ketemu lagi.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS LINGKUNGAN PERUSAHAAN AQUA

Situasi Pembelian dalam Pasar Industri

REVIEW FILM THE FAULT IN OUR STARS